Saya adalah seorang moviegoers yang oportunistik, suka menonton film tapi tidak suka membayar tiket dari bioskop yang monopolistik itu. Saya lebih suka terlambat menonton film-film baru, menunggunya keluar di situs-situs dan forum , dan menikmati betapa menyenangkannya waktu tigapuluh menit yang saya perlukan untuk mengunduh satu film. Makanya, kalau MPAA bertekad bulat untuk menarik semua peredaran film mereka dari bioskop Indonesia, ya, it ain’t a problem, dude! Masih banyak para pengunggah baik hati di luar sana yang mau berbagi tautan file-sharing film terbaru. Tentu saja, kalau pemerintah Indonesia bisa membuat MPAA berpikir ulang dan mengikuti aturan tuan rumah, saya akan tepok tangan sekeras-kerasnya plus standing ovation, sama seperti ketika RIM bertekuk lutut. Oke, itu bisa jadi perdebatan yang lain.
Sebenarnya, saya tidak memiliki spesifikasi khusus mengenai genre film yang saya sukai. Saya menonton banyak film, bahkan film-film yang dianggap buruk oleh banyak orang. Bagi saya, tindakan kompromistis terhadap jenis film yang saya tonton bukan sebuah masalah, ini berkebalikan dengan pilihan saya terhadap sastra. Seringkali, saya berusaha mengetik sejumlah pikiran yang melayang setelah menikmati beberapa film. Menikmati? Iya, menikmati. Itu kata yang lebih tepat karena saya bukan sekedar menonton untuk dicari mana bagian salah dan benarnya suatu film. Nah, diketikan ini saya ingin berbagai beberapa hal yang saya nikmati dari film-film berikut, film-film yang tanggal 27 Februari nanti akan divonis sebagai The Best Motion Picture di ajang Academy Awards.
127 Hours
Anda, saya, dan kita pasti membenci keadaan dimana kita terjepit di dalam situasi yang tidak menyenangkan dan tidak bisa pergi begitu saja. Lebih parah lagi, kalau dalam keadaan yang seperti itu tidak ada orang yang bisa membantu karena kita tidak ingin orang lain tahu. Lalu, dalam keadaan yang serba terhimpit itu kita mulai berfantasi, berangan-angan mengenai kenangan tertentu, dan merangkai fragmen posmo di dalam kepala mengenai orang-orang yang mungkin bisa membantu. Danny Boyle tahu benar bagaimana menempatkan potongan-potongan itu ke dalam film ini. Berbasis kisah nyata seorang petualang, Aron Ralston, Boyle melalui James Franco menuturkan monolog yang miris tentang rasanya terjepit batu besar di tanah antah berantah dimana anda tidak mungkin ditemukan. Adegan potong tangan yang bikin bergidik dan ngilu hingga ke ulu hati sukses membuat saya cuma berani mengintip adegan itu dari pojokan kamar. Ah, saya jadi paranoid kalau tiba-tiba tertimpa lemari!
Inception
Kerja Nolan dalam Inception telah membuat banyak orang dari seluruh penjuru dunia terkesan dengan ide dasarnya mengenai sebuah proses meletakan atau bahkan merubah gagasan di dalam kepala seseorang melalui agresi mimpi yang berlapis-lapis dan tindakan intrusif terhadap emosionalitas. Secara garis besar, Inception adalah perpaduan linear dari konsep ruang dan waktu pararel yang saling terhubung, sebuah hal yang hanya bisa dibuat dengan pemikiran kelas filsuf. Film ini merupakan tren positif dari reputasi Nolan yang sudah terbangun dari film-film sebelumnya seperti The Prestige dan, tentu saja, The Dark Knight. Ketika film ini tidak memenangkan gelar prestisius di ajang Golden Globe banyak orang bersuara, tetapi saya lebih menyukai pendapat seorang teman,”Chill out, of course Inception would have not won, they were not looking for something inovative and visionary.”
The Kids Are All Right
Film ini berkisah mengenai pasangan lesbian yang memiliki dua anak hasil donor sperma. Konfliknya memuncak ketika kedua anak tersebut menemukan dan membawa ayah biologis mereka alias sang pendonor ke dalam kehidupan keluarga ini. Bagi saya, ini merupakan perpaduan dramatis dari isu sensitif mengenai nilai keluarga dan orientasi seksual, sekaligus pencitraan positif mengenai pasangan homoseksual. Namun, ini bukan sebuah film yang secara gamblang dan detail merumuskan pembelaan atau pledoi untuk membujuk orang bersimpati dan mau mengangguk-angguk untuk bersetuju mengenai perkawinan sejenis. Lebih dari itu, film ini menawarkan penjernihan dengan bingkai mengenai sisi hidup lain. Saya kira, ini bukan model film yang bisa ditayangkan secara luas di Indonesia, bisa-bisa banyak ormas main bakar-bakaran di luar bioskop.
The Social Network
Mark Zuckerberg, yang didaulat sebagai billionaire termuda di sepanjang sejarah umat manusia, tentu tak pernah mengira ia bisa menjadi seperti sekarang hanya dalam waktu tujuh tahun. Mengusung tagline yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti “anda tidak memiliki 500 juta teman tanpa beberapa musuh”, film ini berkutat dalam scene yang tertata rapih dalam menuturkan bagaimana Zuckerberg mendirikan Facebook dan menyelesaikan gugatan hukum terkait hak cipta. Karakter kuat dari dialog cepat dan pribadi Zuckerberg, yang dipertunjukkan oleh Jesse Eisenberg, menjadi kekuatan tersendiri dalam film ini sekaligus mengantar pemerannya ke nominasi aktor terbaik. Saya pribadi tidak merasa ada sesuatu yang membuatnya lebih, mungkin karena sebelumnya saya sudah khatam sejarah Facebook, dan film ini terlalu sesuai dengan ekspektasi. Ini merupakan film yang bagus, tidak lebih.
The King’s Speech
Pernahkah anda membayangkan kalau Indonesia memiliki pemimpin yang gagap sehingga berpidato pun sulit? Inggris pernah memilikinya di dalam diri King George V atau Bertie, sapaan informalnya. Diperankan secara brilian oleh Colin Firth, saya benar-benar dibuat gemas dan geregetan dengan sosok raja satu ini. Saya kira ini memang tahunnya Colin Firth, pendalaman personalitas dan aksen tutur kata gagapnya benar-benar alami. Eisenberg mungkin bisa melakukan dialog cepat ala Zuckerberg, tetapi beraksen gagap secara natural itu berada di level yang jauh lebih tinggi. Sisanya, film ini merupakan representasi kaum elite istana dengan segala aturan tradisional dan ekspektasi kesempurnaan yang mesti dimiliki keluarga bangsawan. Sekaligus juga dialog cerdas dan sindiran egaliter yang keluar dari Logue, sang mentor pidato yang keturunan Australia, ini jelas pertunjukan sentimentil. Pada akhirnya, film ini membawa sensasi kelegaan ketika Bertie secara kharismatik mampu berbicara di saat-saat Inggris memerlukan suntikan moral menjelang perang melawan Jerman. Well, that’s Colin Firth, he’s stammer, I’m speechless..
True Grit
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya menonton film-film koboi klasik dan tiba-tiba True Grit menyeruak di timeline Twitter. Sudah pasti secara refleks saya mencarinya di Google dan mendapat file film ini meskipun gambarnya belum begitu bagus. Film ini ibarat pengobat obsesi masa kecil mengenai kuda dan revolver. Alur ceritanya sederhana, akting Matt Damon tidak begitu mengesankan, dan Jeff Bridges berada di jalur yang benar. Yang membuat film ini spesial malahan pemeran pembantu wanitanya, Hailee Steinfeld. Berperan sebagai anak perempuan berusia 14 tahun yang menuntut balas ataas kematian ayahnya, Steinfeld memainkannya tanpa canggung dan gemilang. Menurut informasi dari situs resmi film ini, Steinfeld terpilih setelah melalui audisi ketat dari 15ooo kandidat. Ia mengingatkan saya pada debut awal Natalie Portman sewaktu berusia 12 tahun di film Leon (1994) bersama Jean Reno. She’s really splendid!
Winters Bone
Suara angin sayup-sayup, eksploitasi nuansa mendung wilayah Ozark Mountain yang sunyi, dialog yang jernih, dan minim latar musik yang ingar bingar membuat Winter’s Bone menjadi thriller yang menegangkan. Film ini dibuka dengan nyanyian lullaby tanpa iringan alat musik, dan sederetan adegan aktivitas keluarga Ree dan kedua adiknya. Ree kemudian harus membongkar medan sosial yang berbahaya untuk menemukan ayahnya di lingkungan para pengedar obat terlarang sekaligus memastikan keluarganya tetap utuh. Jenniffer Lawrence yang memerankan Ree diganjar nominasi pemeran utama wanita terbaik di berbagai ajang termasuk Oscar, meskipun besar kemungkinan akan jatuh ke tangan Natalie Portman. Setidaknya, ia telah menunjukkan kualitas luar biasa sebagai pendatang baru yang mampu menggebrak dunia seni peran. Saya yakin, anda akan merasakan perpaduan sensasi haru dan nyeri ketika melihat akting Lawrence di bagian akhir film ini. Oh ya, sekilas, ide anak sulung yang mesti merawat adik-adik dan ibunya yang sakit ini mengingatkan saya pada sebuah film Jepang berjudul Nobody Knows (2004).
Black Swan
Serius, saya cuma bisa senyum-senyum bahagia dengan dada yang panas dan berdebar-debar selesainya menonton film ini. Plot, twist, dan ending-nya merupakan tipe yang paling saya cintai dari sebuah film. Saya bahkan tidak bisa lagi menggunakan kata-kata hiperbolis untuk memuji film ini dan bagaimana Natalie Portman bermain di dalamnya. Yang saya ingat, perasaan semacam ini sama persis seperti ketika saya menonton Fight Club (1999). Keduanya menelisik perfeksionisme yang agresif, paranoia dari tekanan yang depresif, dan personalitas dua muka yang sangat ilusif, ini benar-benar menghajar habis-habisan sisi diri saya yang paling apresiatif. Terus terang, saya memang menggilai konsep kepribadian ganda yang delusional, dan Black Swan, dengan konsepsi hitam putih yang gemerlap, berada di garis terdepan dari film-film yang benar-benar bisa membuat saya cecenutan!
Toy Story 3
“Cuma orang jahat yang ngga suka Toy Story,” kata seorang teman. Yak, saya seribu persen setuju dengannya. Toy Story 3 adalah sekuel yang paling humanis dan emosional. Ia tak lagi bercerita tentang persaingan individu antar mainan, tetapi lebih dari itu, ia menyayat hati dengan gurauan mengenai hasrat untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain sesuai yang kita bisa. Ia juga merupakan guratam yang manis tentang optimisme, kesetiaan, dan keyakinan. Woody yang identik dengan Lucky Luke masih terus menjadi pemimpin dan sahabat yang hebat, sementara Buzz Lightyear edisi Espanyola sukses membuat saya ketawa guling-guling. Ini benar-benar merupakan penantian panjang yang tidak sia-sia dan Pixar berhasil memenuhi ekspektasi optimum tanpa sedikitpun meninggalkan cela dan mencederai kebahagiaan pemirsa global. Anyway, saya agak tercengang sewaktu Barbie berkata,”Authority should derive from the consent of the governed, not from threat of force!” Sepertinya Barbie juga kuliah ilmu politik..
The Fighter
“Apa bedanya The Fighter dengan Rocky (1976), Cinderella Man (2005), dan Million Dollar Baby (2004)?” tanya saya pada seorang karib. Saya sendiri tak puas dengan jawaban sahabat saya itu dan juga sudah pasti tak puas dengan cara saya memperbandingkan keempat film tersebut. Kesemuanya sama-sama bertutur tentang boxing dan entah kenapa film-film ini begitu menarik serta tergarap dengan cara-cara yang luar biasa. The Fighter tak seperti Rocky yang bersifat fiktif tetapi sama orisinalnya dengan Cinderella Man yang bercerita mengenai James Braddock. Meski di sisi lain, mesti diakui ia juga tak sekuat narasi Million Dollar Baby. Lalu apa yang menarik? Bagi saya, The Fighter berkutat dengan drama yang begitu mengena antara hubungan kakak-adik sekaligus petinju-pelatih, Micky Ward dan Dicky Eklund. Hanya saja, film ini tak sekedar mengajak penonton untuk melihat skema narasi dari jauh di belakang ring, antara gym tempat berlatih dan kehidupan personal tokohnya. Ia menggunakan gaya yang sedikit berbeda dengan meninggalkan penonton pada ruang dimana penonton seharusnya berada ketika pertandingan tinju digelar, yaitu di depan televisi. Ini cukup unik, film ini mengubah resolusi gambar persis seperti gambar layar kaca ketika memasuki adegan Micky melawan Neary. David O. Russell, sang sutradara, seperti sengaja membiarkan kita tergugah menyaksikan pertandingan tanpa perlu dikacaukan dramatisasi di sela tiap ronde seperti yang umum terlihat di film-film tinju. Drama itu begitu dekat, sama persis seperti drama yang kita lihat di televisi, yang diatur Floor Director dari ruang siaran. Sensasi yang saya dapat adalah saya seperti tidak sedang menonton film tinju, melainkan menyaksikan langsung pertandingan tinju dari televisi di ruang keluarga seperti yang biasa saya lakukan bersama ayah saya.
Nah, kesepuluh film di atas masuk ke dalam nominasi film terbaik di ajang Academy Awards 2011. Saya sendiri memilih untuk tidak secara eksplisit menasbihkan film unggulan saya, sepertinya itu akan terbaca dari cara saya mengulas film-film tersebut. Tapi, kalau anda sempat menyaksikan beberapa di antara film-film di atas atau bahkan telah menonton kesemuanya, saya yakin anda sudah punya pilihan favorit sebagai film terbaik. Jadi, yang mana film terbaik 2011 menurut anda?
** semua gambar poster film didapat dari http://www.imdb.com/
Sebenarnya, saya tidak memiliki spesifikasi khusus mengenai genre film yang saya sukai. Saya menonton banyak film, bahkan film-film yang dianggap buruk oleh banyak orang. Bagi saya, tindakan kompromistis terhadap jenis film yang saya tonton bukan sebuah masalah, ini berkebalikan dengan pilihan saya terhadap sastra. Seringkali, saya berusaha mengetik sejumlah pikiran yang melayang setelah menikmati beberapa film. Menikmati? Iya, menikmati. Itu kata yang lebih tepat karena saya bukan sekedar menonton untuk dicari mana bagian salah dan benarnya suatu film. Nah, diketikan ini saya ingin berbagai beberapa hal yang saya nikmati dari film-film berikut, film-film yang tanggal 27 Februari nanti akan divonis sebagai The Best Motion Picture di ajang Academy Awards.
127 Hours
Anda, saya, dan kita pasti membenci keadaan dimana kita terjepit di dalam situasi yang tidak menyenangkan dan tidak bisa pergi begitu saja. Lebih parah lagi, kalau dalam keadaan yang seperti itu tidak ada orang yang bisa membantu karena kita tidak ingin orang lain tahu. Lalu, dalam keadaan yang serba terhimpit itu kita mulai berfantasi, berangan-angan mengenai kenangan tertentu, dan merangkai fragmen posmo di dalam kepala mengenai orang-orang yang mungkin bisa membantu. Danny Boyle tahu benar bagaimana menempatkan potongan-potongan itu ke dalam film ini. Berbasis kisah nyata seorang petualang, Aron Ralston, Boyle melalui James Franco menuturkan monolog yang miris tentang rasanya terjepit batu besar di tanah antah berantah dimana anda tidak mungkin ditemukan. Adegan potong tangan yang bikin bergidik dan ngilu hingga ke ulu hati sukses membuat saya cuma berani mengintip adegan itu dari pojokan kamar. Ah, saya jadi paranoid kalau tiba-tiba tertimpa lemari!
Inception
Kerja Nolan dalam Inception telah membuat banyak orang dari seluruh penjuru dunia terkesan dengan ide dasarnya mengenai sebuah proses meletakan atau bahkan merubah gagasan di dalam kepala seseorang melalui agresi mimpi yang berlapis-lapis dan tindakan intrusif terhadap emosionalitas. Secara garis besar, Inception adalah perpaduan linear dari konsep ruang dan waktu pararel yang saling terhubung, sebuah hal yang hanya bisa dibuat dengan pemikiran kelas filsuf. Film ini merupakan tren positif dari reputasi Nolan yang sudah terbangun dari film-film sebelumnya seperti The Prestige dan, tentu saja, The Dark Knight. Ketika film ini tidak memenangkan gelar prestisius di ajang Golden Globe banyak orang bersuara, tetapi saya lebih menyukai pendapat seorang teman,”Chill out, of course Inception would have not won, they were not looking for something inovative and visionary.”
The Kids Are All Right
Film ini berkisah mengenai pasangan lesbian yang memiliki dua anak hasil donor sperma. Konfliknya memuncak ketika kedua anak tersebut menemukan dan membawa ayah biologis mereka alias sang pendonor ke dalam kehidupan keluarga ini. Bagi saya, ini merupakan perpaduan dramatis dari isu sensitif mengenai nilai keluarga dan orientasi seksual, sekaligus pencitraan positif mengenai pasangan homoseksual. Namun, ini bukan sebuah film yang secara gamblang dan detail merumuskan pembelaan atau pledoi untuk membujuk orang bersimpati dan mau mengangguk-angguk untuk bersetuju mengenai perkawinan sejenis. Lebih dari itu, film ini menawarkan penjernihan dengan bingkai mengenai sisi hidup lain. Saya kira, ini bukan model film yang bisa ditayangkan secara luas di Indonesia, bisa-bisa banyak ormas main bakar-bakaran di luar bioskop.
The Social Network
Mark Zuckerberg, yang didaulat sebagai billionaire termuda di sepanjang sejarah umat manusia, tentu tak pernah mengira ia bisa menjadi seperti sekarang hanya dalam waktu tujuh tahun. Mengusung tagline yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti “anda tidak memiliki 500 juta teman tanpa beberapa musuh”, film ini berkutat dalam scene yang tertata rapih dalam menuturkan bagaimana Zuckerberg mendirikan Facebook dan menyelesaikan gugatan hukum terkait hak cipta. Karakter kuat dari dialog cepat dan pribadi Zuckerberg, yang dipertunjukkan oleh Jesse Eisenberg, menjadi kekuatan tersendiri dalam film ini sekaligus mengantar pemerannya ke nominasi aktor terbaik. Saya pribadi tidak merasa ada sesuatu yang membuatnya lebih, mungkin karena sebelumnya saya sudah khatam sejarah Facebook, dan film ini terlalu sesuai dengan ekspektasi. Ini merupakan film yang bagus, tidak lebih.
The King’s Speech
Pernahkah anda membayangkan kalau Indonesia memiliki pemimpin yang gagap sehingga berpidato pun sulit? Inggris pernah memilikinya di dalam diri King George V atau Bertie, sapaan informalnya. Diperankan secara brilian oleh Colin Firth, saya benar-benar dibuat gemas dan geregetan dengan sosok raja satu ini. Saya kira ini memang tahunnya Colin Firth, pendalaman personalitas dan aksen tutur kata gagapnya benar-benar alami. Eisenberg mungkin bisa melakukan dialog cepat ala Zuckerberg, tetapi beraksen gagap secara natural itu berada di level yang jauh lebih tinggi. Sisanya, film ini merupakan representasi kaum elite istana dengan segala aturan tradisional dan ekspektasi kesempurnaan yang mesti dimiliki keluarga bangsawan. Sekaligus juga dialog cerdas dan sindiran egaliter yang keluar dari Logue, sang mentor pidato yang keturunan Australia, ini jelas pertunjukan sentimentil. Pada akhirnya, film ini membawa sensasi kelegaan ketika Bertie secara kharismatik mampu berbicara di saat-saat Inggris memerlukan suntikan moral menjelang perang melawan Jerman. Well, that’s Colin Firth, he’s stammer, I’m speechless..
True Grit
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir saya menonton film-film koboi klasik dan tiba-tiba True Grit menyeruak di timeline Twitter. Sudah pasti secara refleks saya mencarinya di Google dan mendapat file film ini meskipun gambarnya belum begitu bagus. Film ini ibarat pengobat obsesi masa kecil mengenai kuda dan revolver. Alur ceritanya sederhana, akting Matt Damon tidak begitu mengesankan, dan Jeff Bridges berada di jalur yang benar. Yang membuat film ini spesial malahan pemeran pembantu wanitanya, Hailee Steinfeld. Berperan sebagai anak perempuan berusia 14 tahun yang menuntut balas ataas kematian ayahnya, Steinfeld memainkannya tanpa canggung dan gemilang. Menurut informasi dari situs resmi film ini, Steinfeld terpilih setelah melalui audisi ketat dari 15ooo kandidat. Ia mengingatkan saya pada debut awal Natalie Portman sewaktu berusia 12 tahun di film Leon (1994) bersama Jean Reno. She’s really splendid!
Winters Bone
Suara angin sayup-sayup, eksploitasi nuansa mendung wilayah Ozark Mountain yang sunyi, dialog yang jernih, dan minim latar musik yang ingar bingar membuat Winter’s Bone menjadi thriller yang menegangkan. Film ini dibuka dengan nyanyian lullaby tanpa iringan alat musik, dan sederetan adegan aktivitas keluarga Ree dan kedua adiknya. Ree kemudian harus membongkar medan sosial yang berbahaya untuk menemukan ayahnya di lingkungan para pengedar obat terlarang sekaligus memastikan keluarganya tetap utuh. Jenniffer Lawrence yang memerankan Ree diganjar nominasi pemeran utama wanita terbaik di berbagai ajang termasuk Oscar, meskipun besar kemungkinan akan jatuh ke tangan Natalie Portman. Setidaknya, ia telah menunjukkan kualitas luar biasa sebagai pendatang baru yang mampu menggebrak dunia seni peran. Saya yakin, anda akan merasakan perpaduan sensasi haru dan nyeri ketika melihat akting Lawrence di bagian akhir film ini. Oh ya, sekilas, ide anak sulung yang mesti merawat adik-adik dan ibunya yang sakit ini mengingatkan saya pada sebuah film Jepang berjudul Nobody Knows (2004).
Black Swan
Serius, saya cuma bisa senyum-senyum bahagia dengan dada yang panas dan berdebar-debar selesainya menonton film ini. Plot, twist, dan ending-nya merupakan tipe yang paling saya cintai dari sebuah film. Saya bahkan tidak bisa lagi menggunakan kata-kata hiperbolis untuk memuji film ini dan bagaimana Natalie Portman bermain di dalamnya. Yang saya ingat, perasaan semacam ini sama persis seperti ketika saya menonton Fight Club (1999). Keduanya menelisik perfeksionisme yang agresif, paranoia dari tekanan yang depresif, dan personalitas dua muka yang sangat ilusif, ini benar-benar menghajar habis-habisan sisi diri saya yang paling apresiatif. Terus terang, saya memang menggilai konsep kepribadian ganda yang delusional, dan Black Swan, dengan konsepsi hitam putih yang gemerlap, berada di garis terdepan dari film-film yang benar-benar bisa membuat saya cecenutan!
Toy Story 3
“Cuma orang jahat yang ngga suka Toy Story,” kata seorang teman. Yak, saya seribu persen setuju dengannya. Toy Story 3 adalah sekuel yang paling humanis dan emosional. Ia tak lagi bercerita tentang persaingan individu antar mainan, tetapi lebih dari itu, ia menyayat hati dengan gurauan mengenai hasrat untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain sesuai yang kita bisa. Ia juga merupakan guratam yang manis tentang optimisme, kesetiaan, dan keyakinan. Woody yang identik dengan Lucky Luke masih terus menjadi pemimpin dan sahabat yang hebat, sementara Buzz Lightyear edisi Espanyola sukses membuat saya ketawa guling-guling. Ini benar-benar merupakan penantian panjang yang tidak sia-sia dan Pixar berhasil memenuhi ekspektasi optimum tanpa sedikitpun meninggalkan cela dan mencederai kebahagiaan pemirsa global. Anyway, saya agak tercengang sewaktu Barbie berkata,”Authority should derive from the consent of the governed, not from threat of force!” Sepertinya Barbie juga kuliah ilmu politik..
The Fighter
“Apa bedanya The Fighter dengan Rocky (1976), Cinderella Man (2005), dan Million Dollar Baby (2004)?” tanya saya pada seorang karib. Saya sendiri tak puas dengan jawaban sahabat saya itu dan juga sudah pasti tak puas dengan cara saya memperbandingkan keempat film tersebut. Kesemuanya sama-sama bertutur tentang boxing dan entah kenapa film-film ini begitu menarik serta tergarap dengan cara-cara yang luar biasa. The Fighter tak seperti Rocky yang bersifat fiktif tetapi sama orisinalnya dengan Cinderella Man yang bercerita mengenai James Braddock. Meski di sisi lain, mesti diakui ia juga tak sekuat narasi Million Dollar Baby. Lalu apa yang menarik? Bagi saya, The Fighter berkutat dengan drama yang begitu mengena antara hubungan kakak-adik sekaligus petinju-pelatih, Micky Ward dan Dicky Eklund. Hanya saja, film ini tak sekedar mengajak penonton untuk melihat skema narasi dari jauh di belakang ring, antara gym tempat berlatih dan kehidupan personal tokohnya. Ia menggunakan gaya yang sedikit berbeda dengan meninggalkan penonton pada ruang dimana penonton seharusnya berada ketika pertandingan tinju digelar, yaitu di depan televisi. Ini cukup unik, film ini mengubah resolusi gambar persis seperti gambar layar kaca ketika memasuki adegan Micky melawan Neary. David O. Russell, sang sutradara, seperti sengaja membiarkan kita tergugah menyaksikan pertandingan tanpa perlu dikacaukan dramatisasi di sela tiap ronde seperti yang umum terlihat di film-film tinju. Drama itu begitu dekat, sama persis seperti drama yang kita lihat di televisi, yang diatur Floor Director dari ruang siaran. Sensasi yang saya dapat adalah saya seperti tidak sedang menonton film tinju, melainkan menyaksikan langsung pertandingan tinju dari televisi di ruang keluarga seperti yang biasa saya lakukan bersama ayah saya.
Nah, kesepuluh film di atas masuk ke dalam nominasi film terbaik di ajang Academy Awards 2011. Saya sendiri memilih untuk tidak secara eksplisit menasbihkan film unggulan saya, sepertinya itu akan terbaca dari cara saya mengulas film-film tersebut. Tapi, kalau anda sempat menyaksikan beberapa di antara film-film di atas atau bahkan telah menonton kesemuanya, saya yakin anda sudah punya pilihan favorit sebagai film terbaik. Jadi, yang mana film terbaik 2011 menurut anda?
** semua gambar poster film didapat dari http://www.imdb.com/
0 komentar:
Post a Comment
Akan Sangat Berkesan Jika Anda meninggalkan Komentar ^^